Kurikulum menjadi hal yang paling berantakan di sekolah, hal itu ternyata sudah terjadi sejak jaman CM dan sekarang pun kita rasakan dalam pendidikan di negara kita. Bagaimana pemangku kebijakan pendidikan kita pun sepertinya bingung menentukan kurikulum seperti apa yg sebaiknya diterapkan, sehingga masyarakat pun juga ikut kebingungan.
Dulu kita merasakan langsung bagaimana kurikulum itu berganti-ganti dan tidak mudah dalam lapangan untuk beradaptasi mengadopsi kurikulum yg diperbaharui seiring dengan pergantian Menteri Pendidikan. Terlebih tidak ada perubahan yang signifikan dengan adanya pembaharuan kurikulum ini. Kita masih saja menjadi negara tertinggal soal pendidikan. Apa yang salah dengan kurikulum kita? Lalu seperti apa pandangan CM tentang kurikulum ini?
Dalam kelas Akademis CM yang dipandu oleh Ayu Primadini dijelaskan bahwa dalam buku CM volume 6, Charlotte mengatakan, Kerja pendidikan dilandasi oleh asumsi keliru, seolah tidak ada hukum alam atau prinsip dasar yang seharusnya melandasi perencanaan kurikulum; jadilah kita mengajarkan pada anak-anak segala hal demi, menurut Locke, entah agar dia bisa menonjol di masyarakat, atau sebatas agar dia tahu baca-tulis-hitung dan tidak buta aksara. Keduanya sama-sama bentuk pendidikan yang bersifat utilitarian, semacam pelatihan tak langsung untuk menjalani profesi, atau agar menguasai keterampilan agar dia siap kerja di masa depan. (vol 6 Hal 156)
Sudah menjadi pandangan umum ketika seseorang menempuh pendidikan formal sekolah agar nantinya ia bisa bekerja di sektor tertentu. Karna tidak bisa dipungkiri juga bahwa lowongan kerja yang beredar saat ini pastinya memerlukan kualifikasi jenjang pendidikan tertentu. Maka orang pun berlomba-lomba untuk memperoleh jenjang itu setinggi-tingginya. Seperti sebuah piramida semakin di puncak maka jumlahnya semakin mengerucut, dan kemungkinan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik peluangnya semakin besar. Namun terkadang orang menjadi lupa bahwa esensi sebenarnya dalam pendidikan itu adalah proses belajar itu sendiri. Semakin lama esensi itu hilang dan berganti menjadi proses input dan output untuk memenuhi kebutuhan pasar, atau sebutan lain adalah utilitarianisme. Kita semua sedang terjebak dalam kubangan ini, sehingga menjadi bimbang manakah yang menjadi lebih penting. Mendahulukan outputnya untuk memenuhi kebutuhan pasar atau mementingkan prosesnya, kembali lagi ke esensi awal mula tujuan pendidikan? Tentu pilihan yang kedua ini sekarang menjadi rumit, ketika pendidikan kita sudah berfokus untuk memenuhi kebutuhan pasar, tidak melihat kembali dasar kebutuhan anak-anak itu sendiri.
Saya mengagumi bagaimana CM ini memandang bahwa anak adalah pribadi yang utuh, mereka bukanlah kopian dari sisapapun, pastinya dengan begitu mereka punya cara unik masing-masing untuk berelasi dengan sumber belajarnya. Dan bagi CM sumber belajar sangat berlimpah di alam. Namun kita sendirilah yang mengotak-ngotakannya menjadi mata pelajaran tertentu, yang awalnya adalah sebuah kesatuan namun pada akhirnya menjadi hal yang terpisah dan seolah tidak saling berkaitan. Anak menjadi bosan karena ilmu tersebut sudah tidak memiliki esensinya lagi, berubah menjadi sekedar informasi yang menjemukan.
Menutut CM kurukulum yang ditawarkan seharusnya punya daya hidup "living", seperti living book yang direkomendasikan oleh CM. CM tidak merekomendasikan penyampaian dalam bentuk ceramah penjelasan, pertanyaan komperehensif, tugas menyebutkan pokok pikiran, dan juga tidak memberikan PR untuk dikerjakan malam hari. Menurut CM yang membebani siswa sebenarnya bukanlah banyaknya materi yang dicerna namun durasi waktunya, oleh karena itu pembelajarannya harus disampaikan dengan waktu singkat.
Betapa hal ini menjadi teguran bagi kita, bahwa dalam proses pembelajaran di sekolah yang selama ini kita kenal sungguhlah ternyata banyak kesia-siaan di dalamnya. Upaya dengan hasil yang didapatkan tidak sebanding. Para guru mengonsep sedemikian rupa proses pembelajaran menggunakan berbagai metode dan pendekatan agar anak bisa senang dengan proses belajar, namun hal ini justru menciderai hakikat dari anak itu sendiri yang pada dasarnya mereka punya hasrat untuk belajar dalam dirinya namun dipaksakan untuk mengikuti cara yang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh guru dan goalnya pun harus disetarakan sesuai dengan yang dirumuskan oleh pemangku kebijakan pendidikan.
CM berpandangan bahwa semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Baik itu dari kalangan atas, tengah, maupun bawah. Ketika prinsip-prinsip CM ini dijalankan maka potensi-potensi anak tersebut bisa terwujud tidak bergantung pada kejeniusan atau tidaknya seseorang. Karena metode CM didasarkan pada perilaku akal budi.
Bagi CM tugas kita sebagai orang dewasa bukanlah untuk mengajarkan segala hal kepada anak, namun untuk membantu anak berelasi dengan sumber belajarnya.
"Apa yang menjadi parameter ketika anak itu sudah menjalin relasi dengan sumber belajarnya? Tentu saja tumbuh rasa cinta dalam benak anak, jika sudah cinta ia akan melakukannya tanpa diminta," kata Mba Ayu malam itu.
Ditulis oleh : Nisrina
Mentor : Ayu Primadini
Dalam kelas Akademis CM pertemuan 1