Sebelum kita merancang kutikulum anak, orangtua perlu merancang kurikulum untuk dirinya sendiri. Hal ini berkaitan dengan prinsip CM yaitu bahwa pendidikan adalah atmosfer. Anak akan meniru apa yang dilakukan oleh orangtua, oleh karena itu perlu bagi orangtua untuk menyuplai ide bagi dirinya sendiri, dengan menyempatkan waktu untuk belajar, mempunyai kebiasaan baik, manajemen diri, dan berefleksi.
Kurikulum yang kaya dalam CM diibaratkan seperti perjamuan ide untuk anak. Beraneka ragam makanannya untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh, begitu juga dengan akal budi. Jika dituangkan dalam sebuah kurikulum, maka perjamuan ide ini berupa berbagai macam subyek pembelajaran. Walaupun terlihat serupa nama-nama subyek belajarnya dengan di sekolah namun ada perbedaan mendasar tentang bagaimana tujuan dan cara dalam mempelajarinya. Tujuan dari belajar berbagai subyek pembelajaran di CM ditujukan untuk habbit training dan membentuk karakter. Beberapa contoh habbit training yaitu : attention, remembering, imagining, observation, thinking, consentration, perfect excecution, accuracy, reflection, thoroughness, art sense
Sedangkan jika di sekolah tujuan pendidikan bisa saja juga beragam, namun bukankah ada kejanggalan ketika setiap sekolah yang memiliki tujuan atau visi misi yang berbeda antar sekolah satu dengan sekolah yang lainnya memiliki cara yang hampir sama dan juga evaluasi yang sama juga? Dulu dalam satu semester sudah dijadwalkan mata pelajaran, misal dari BAB 1 sampai BAB 6, lalu di akhir semester dilakukan evaluasi berupa soal tes pilihan ganda maupun essai. Semua anak wajib menguasai semua materi tidak ada tidak dikurangi atau dilebihkan, semua disamaratakan.
Dalam metode CM kita bisa saja mempunyai cara belajar yang berbeda-beda disesuaikan dengan materi, waktu, keadaan masing-masing anak. Hal ini mengacu pada prinsip CM yang mryakini bahwa anak adalah "born person", setiap anak mempunyai cara tersendiri untuk mempelajari subyek, tidak ada deadline tertentu kapan anak harus selesai memahami suatu subyek, bisa jadi 1 subyek bisa difahami anak dalam kurun waktu 1 hari, 1minggu, atau bahkan bisa saja setelah bertahun-tahun dia baru faham. Maka dari itu dalam prosesnya, kita sebagai fasilitator hanyalah memberikan perjamuan, memantik, dan tidak ada penilaian yang menjustifikasi anak.
Selain itu anak perlu berelasi dahulu dengan subyek belajarnha, relasi antar anak dan subyek pembelajarannya ini bisa dimulai sejak sebelum memasuki fase akademis. Misalnya berjalan atau bermain-main di alam terbuka, atau membacakan cerita living book. Tanpa relasi dengan subyek pembelajarannya, maka proses pembelajaran yang terjadi hanyalah seperti aktivitas yang membosankan.