Sejak manusia terlahir ke Bumi, kita punya insting naluriah untuk belajar. Belajar cara keluar dari rahim ibu, belajar menyusu, belajar tengkurap, berdiri, berjalan, berlari tanpa beban, jika kita terjatuh kita terus akan berdiri dan melangkah lagi, lalu betahun-tahun tumbuh semakin besar, bersekolah, lulus, bekerja tiba-tiba kita menyadari bahwa kita tidak lagi tertarik dengan kata belajar, bahkan muak.
Melahirkan menyadarkanku untuk kembali atau mungkin lebih tepatnya memaksaku untuk belajar kembali. Saya kembali belajar menyusui, memberikan makan pada anak, dan juga memahami tumbuh kembang anak. Tentu saja prosesnya tidak mulus. Kadang saat membaca instruksi atau teori dari seseorang, saya merasa sudah tahu arti kalimat dalam buku tersebut, namun ketika dipraktekkan ternyata saya belum memahaminya, belum lagi jika informasi yang saya dapatkan ini hanya dari internet, atau sumber praktis lainnya, saya semakin sulit untuk tau maksud dan juga menjadi sulit mempraktekkannya.
Semakin anak tumbuh dan berkembang, saya mulai merasa bahwa mereka butuh stimulus-stimulus tertentu agar perkembangannya cukup pesat. Saya mencoba untuk menstimulasi motorik dan sensorisnya, berharap anak bertumbuh dengan baik dan.. Saya pun mulai menyelipkan suatu keinginan lainnya yaitu tumbuh dengan baik dan cepat. Ia cepat, karena ketika kita tahu anak kita perkembangannya lebih cepat dari pada anak orang lain, ada rasa bangga pada diri kita.
Sampai akhirnya saya yang awalnya membuat permainan edukasi untuk melatih motorik, sensori, memberikan pemahaman dan pengetahuan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangannya, justru tanpa sadar berubah menjadi sebuah ketergantungan. Yah memang anak menjadi terstimulasi, mereka juga enjoy bermain dengan mainan tersebut, bahkan memintanya lagi dan lagi, sayapun dengan suka hati mempersiapkan dan membuatkannya.
Sampai suatu hari, waktu adiknya telah lahir, mula tumbuh, saya sadari waktu untuk kakaknya menjadi lebih berkurang. Yang dulunya bisa menemani kakak bermain hampir setiap kali dia memintanya, sekarang tidak. Lalu saya memintanya untuk memainkan sendiri mainan-mainannya, ternyata dia merasa kebingungan. Awalnya saya berharap dengan memberikan aktivitas bermain seperti sebelumnya yang sudah dilakukan, anak akan menirunya. Tapi ternyata tidak, seringnya dia menangis untuk ditemani main, dan seperti kebingungan ingin bermain apa. Padahal mainannya banyak. Akhirnya saya berjeda cukup lama untuk berhenti sejenak membuat permainan-permainan edukasi karena waktu tidak memungkinkan. Anak mulai belajar memainkan mainannya sendiri, lalu dia juga mulai berinisiatif memainkan barang-barang di sekitarnya, misal selotip yang digelundungkan dan dia sepertinya menyukainya karena seperti roda. Seakan dia mylai menciptakan imajinasi2nya. Kemudian dia juga mulai menggambar bentuk-bentuk sendiri, sebelumnya saya ingat membuatkannya sebuah pola untuk dia ikuti, tapi dia malah menjadi cepat bosan. Ketika dia membuat pola-polanya sendiri dia terlihat sekali menyukai aktivitas tersebut dan bahagia ketika polanya menjadi gambar sesuai yang dia inginkan. Semakin lama dia berinisiatif untuk menulis angka sendiri, awalnya saya melihat dia menulis angka dengan menirukan bentuknya dari sebuah jam dinding di ruang tengah. Saya hanya melihatnya saja, sampai akhirnya dia bisa menuliskan semua angkanya sendiri. Bukan hanya angka, tapi dia dengan sendirinya tertarik untuk memulai menulis huruf-huruf saat saya hanya sekali mencoba untuk menuliskan namanya di papan tulis. Saya jadi teringat, waktu itu saya membuat permainan menjiplak angka-angka dengan berbagai media, namun ternyata dia malah bosan dan saya yang sudah mempersiapkan sedemikian rupa bahan dan peralatannya jadi dongkol sendiri karena dia tidak antusias. Dan saya baru menyadari bahwa yang terpenting dalam proses belajar ini ternyata adalah relasi antara anak dan subyek belajarnya. Ketika anak sudah menjalin relasi dengan subyek belajar tersebut, anak menjadi lebih antusias, lebih bahagia dengan prosesnya dan kita sebagai orang tua tidak perlu bersusah payah untuk menstimulasinya ataupun mempersiapkan segala macam bahan dan peralatannya, kita juga tidak perlu panjang lebar memberikan instruksi apalagi menceramahinya.
Ditulis oleh : Nisrina
Mentor : Ayu Primadini
dalam Kelas Akademis CM batch 9 pertemuan 2