Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, seringkali kita dengar kiasan ini. Sepertinya hal ini memang benar seorang anak pada dasarnya memang suka mencontoh, dari mana lagi jika bukan dari kedua orangtuanya?
Kita pasti seringkali menginginkan anak kita menjadi anak yang baik, bertanggung jawab, rajin ibadah, menjadi juara, penyabar, dan nantinya jadi orang sukses. Pertanyaannya, apakah selama ini kita sudah mencontohkannya? Hmmm saya pun cuma nyengir kalau ingat hal-hal apa saja yang kuinginkan kelak dari anak-anak. Bahkan seringkali kita meletakkan beban dengan menginginkan anak kita mencapai impian kita yang tidak kesampaian. Seringkali kita menjadi buta dengan berdalih menginginkan yang terbaik untuk anak, sedangkan kita tahu bahwa untuk mencapainya bukan hal yang mudah bahkan mungkin sampai saat ini kita pun masih berproses untuk mencapainya karena hal tersebut memang tidak mudah.
Di kelas Fondasi Charlotte Mason pertemuan ketiga ini kita belajar mengenai instrumen pendidikan, yang pertama yaitu atmosfer. Atmosfer ini semacam lingkungan sekitar anak yang memancar, bisa makhluk hidup maupun benda mati dan dapat mempengaruhi anak. Orang tua, teman sebaya, orang-orang dewasa di linkungannya, benda-benda di rumahnya, lukisan, buku, tata letak ruang, adalah atmosfer bagi anak.
Di pertemuan kali ini diputarkan video tentang bagaimana seorang anak yang pada dasarnya bersikap persis meniru orangtuanya. Ketika orangtuanya suka membuang sampah sembarangan, anak pun buang sampah sembarangan, orangtua suka mengumpat anaknya pun suka mengumpat, orangtua suka agresif begitu pula dengan anaknya. Ketika video berakhir, saya pun kembali berefleksi, benar memang seperti itu adanya, namun seringkali ketika anak meniru apa yang kita lakukan kita justru menjadi marah, atau kita menampik bahwa kita tidak mengajari mereka seperti itu.
Lalu seperti apakah atmosfer yang baik untuk anak? Apakah kita perlu membuatkan suatu lingkungan khusus untuk anak-anak agar mereka bisa terstimulasi dengan baik, dan aman dari hal-hal yang negatif? Jika menurut CM lingkungan buatan (artifisial) ini justru dapat menghambat perkembangan anak. Anak sebaiknya tumbuh di lingkungannya secara natural. Biarkan anak merasakan pengalaman-pengalamannya sendiri saat berinteraksi dengan lingkungannya. Biarkan juga mereka mengalami jatuh, gagal, kecewa, sedih. Untuk apa kita menghidarkan anak dari rasa tersebut sedangkan hidup memang untuk menghadapinya bukan untuk menghindarinya. Ada kalanya lingkungan tidak selalu ramah untuk mereka? Apakah semua teman memberikan efek postif untuk mereka? Sudahkah mereka bisa menyaring hal-hal negatif itu sendiri? Atau bahkan mungkin memang mereka belum dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Untuk itulah CM menyarankan agar anak jangan dibebankan untuk memilih pilihan moral, untuk itu orangtualah yang sementara mengambil peran ini sampai si anak secara bertahap bisa memilihnya.
Kemudian atmosfer seperti apakah yang selama ini ada di rumah kita? Di lingkungan sekitar? Di sekolah? Ketika kita menginginkan anak kita menjadi pribadi mandiri, apakah kita sudah memberikan kepercayaan kepada anak bahwa mereka bisa melakukannya sendiri, sudahkah orang-orang sekitar tidak memberikkan bantuan berlebihan saat anak menghadapi permasalahannya, sudahkah lingkungan sekolah menumbuhkan lingkungan bagi anak sebagai pembelajar mandiri bukan karena iming-iming nilai atau iming-iming lainnya? Atau jangan-jangan atmosfer itu ternyata sangat bertolak belakang dengan tujuan kita? Seperti sebuah perahu yang berlayar ke suatu tujuan tetapi tanpa sadar angin telah meniupkan kapal ke arah yang salah
Lanjut kemudian kita belajar mengenai instrumen yang kedua yaitu disiplin, menurut CM disiplin melakukan kebiasaan baik itu seperti membangun rel kereta api, sehingga nantinya kereta ini dapat melaju lancar di jalannya. Melatih kebiasaan baik ini sangat penting.
Sebuah ide menghasilkan tindakan, tindakan berkesinambungan menghasilkan kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan membentuk karakter, dan karakter bisa menentukan nasib seseorang. Sungguh mengerikan jika kita ternyata membangun rel yang salah sejak awal. Oleh karena itu kita sebagai orangtua perlu menanamkan kebiasaan baik, bayangkan apa jadinya jika kebiasaan yang kita tanamkan adalah kebiasaan buruk. Merubah kebiasaan yang sudah berubah menjadi karakkter tentunya tidak mudah. Namun perlu diingat juga bahwa dalam menanamkan kebiasaan jangan sampai terasa ambisi dari mentornya. Ketika anak sudah merasakan ambisi dari sang mentor maka akan semakin sulit unyuk menanamkan kebiasaan tersebut.
Jelas ini bukan hal yang mudah, terutama jika kita sendiri sebagai orangtua masih memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik. Namun sekali kita sudah bisa mengajak anak untuk memulai kebiasaan janganlah membuat jeda atau istilah sekarang "jangan kasih kendor" sampai kebiasaan itu sudah menjadi rutinitas harian yang sudah dianggap mudah untuk dilakukan. Membentuk kebiasaan harus dilakukan secara jelas, perlahan, bertahap. Kereta itu nantinya akan melaju kencang di atas rel yang kuat.
By : Nisrina
Mentor : Ayu Primadini
Dalam kelas Charlotte Mason pertemuan ketiga